maritimdotid@gmail.com
ASPEKSINDO

Perempuan Pesisir Nusantara di Makassar Desak Prabowo Cabut Kebijakan Ekspor Pasir Laut

$rows[judul] Foto: Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nusantara di Makassar mendesak Prabowo Subianto mencabut izin ekspor pasir laut. (Istimewa)

Makassar - Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nusantara mendesak Presiden terpilih, Prabowo Subianto, segera mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Mereka menganggap aturan itu merugikan masyarakat pesisir dan memperburuk kerusakan lingkungan, khususnya di wilayah laut dan pesisir.

Seorang perempuan asal Pesisir Bengkulu, Aklima menilai kebijakan ekspor pasir laut tersebut sebagai regulasi yang merugikan lingkungan dan masyarakat, khususnya perempuan. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini berpotensi merusak ekosistem dan menyebabkan bencana di masa mendatang.

“Intinya, kami dari pesisir Bengkulu menolak keras adanya aturan ini. Karena jelas laut kita akan rusak dan merugikan para nelayan serta perempuan yang hidup dari kelestarian laut”, ucap Aklima dalam keterangan resminya, Sabtu (19/10/2024).

Diketahui, pada Mei 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan peraturan tersebut yang membuka keran ekspor pasir laut. Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan lantaran dampaknya akan mengganggu ekosistem pesisir serta mata pencaharian nelayan.

Setahun setelahnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan alias Zulhas mengeluarkan dua peraturan baru. Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 menjadi turunan dari kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Hingga, Permendag secara resmi menandai dimulainya kembali ekspor pasir laut, dengan persetujuan Jokowi yang berdalih untuk pengendalian sedimentasi. Ketentuan ekspor pasir laut dari hasil kerukan tersebut diatur secara tegas dalam Pasal 9.

Menanggapi isu tersebut, sejumlah perempuan dari berbagai wilayah di Indonesia yang tergabung dalam Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nusantara juga menyampaikan sikap dan desakannya kepada Presiden terpilih, Prabowo Subianto. Mereka menekankan pentingnya perhatian serius terhadap kepentingan perempuan pesisir dalam kebijakan mendatang.

Sementara itu, warga Pesisir Galesong, Takalar, Herlina menyatakan pandangannya mengenai penambangan pasir laut akan menambah stok penderitaan bagi generasi mendatang. Hal itu telah mereka rasakan selama beberapa tahun terakhir.

“Setelah penambangan pasir laut, Galesong terjadi abrasi yang luar biasa dampaknya, karena sampai ada kuburan yang terbongkar dan tulang berulangnya itu berserakan. Sekarang, nelayan juga sudah sulit mendapatkan ikan dan harus jauh pergi melaut,” ungkap Herlina.

Tak hanya itu, perwakilan Pulau Kodingareng, Sita menyatakan bahwa hingga saat ini masyarakat pulau masih merasakan dampak negatif dari penambangan pasir laut yang dilakukan untuk pembangunan Makassar New Port. Akibatnya, banyak warga pulau terpaksa migrasi dan mencari pekerjaan di luar wilayah mereka.

“Sudah banyak yang meninggalkan pulau. Copong (wilayah tangkap nelayan Pulau Kodingareng) juga sudah tidak ada ikan. Padahal, disana dulu ikannya melimpah. Setelah ditambang bukan cuman ikan yang tidak ada, tapi pulau kami juga terancam abrasi,” kata Sita.

Perwakilan dari Pulau Pari, Asmaria memberikan tanggapan terhadap regulasi terbaru yang dikeluarkan pemerintah. Menurutnya, kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah mengabaikan konsekuensi jangka panjang dan lebih mengutamakan kepentingan pengusaha.

“Kami masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil akan bertambah sengsara karena adanya aturan ekspor pasir laut. Ditambah lagi dengan dampak perubahan iklim. Makanya, kami mendesak kepada pemerintah untuk mencabut PP 26 Tahun 2023,” tegas dia.

Selain pandangan para perempuan yang tergabung dalam Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel), Slamet Riadi mengomentari dampak negatif tambang pasir laut terhadap kehidupan nelayan dan perempuan di kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil di Sulsel melalui temuan riset. Temuan dari riset tersebut sejalan dengan pandangan para perempuan yang tergabung dalam Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara.

Penambangan pasir laut dinilai merugikan secara ekonomi bagi keluarga nelayan dan merusak ekosistem laut. Kerugian yang dialami oleh nelayan akibat aktivitas penambangan dan reklamasi ini mencapai angka yang sangat besar.

“Selama 257 hari Kapal milik PT Royal Boskalis melakukan aktivitas penambangan pasir laut dan reklamasi Makassar New Port total kerugian yang dialami oleh nelayan berkisar 54,9 Miliar dari aktivitas reklamasi dan 80,4 Miliar untuk penambangan pasir laut,” ujar Slamet.

Tiga tahun setelah penambangan, pihaknya melanjutkan pemantauan bawah laut di area bekas kegiatan tersebut. Hasilnya, tim penyelam menemukan kerusakan signifikan pada ekosistem laut, termasuk terumbu karang yang mengalami pemutihan (bleaching).

“Inilah yang menjadi penyebab utama mengapa banyak keluarga nelayan di Pulau Kodingareng terpaksa memilih untuk meninggalkan pulau dan mencari pekerjaan lain di luar,” ungkap dia.

Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara resmi dibentuk di Kota Makassar pada 29 Desember 2023. Komunitas ini hadir sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah yang melegitimasi perampasan ruang laut serta mengancam mata pencaharian masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.


Komunitas ini terdiri dari perempuan-perempuan yang berasal dari berbagai daerah, seperti Pulau Kodingareng dan Pulau Lae-Lae di Makassar, Pulau Pari di Jakarta, serta Pesisir Pasar Seluma di Bengkulu dan Pesisir Semarang di Jawa Tengah. Selain itu, anggota komunitas juga mencakup perempuan dari Pesisir Kaluku Bodoa, Pesisir Pajukukang di Bantaeng, Pesisir Galesong, Pesisir Mariso di Kota Makassar, serta Pantai Merpati di Bulukumba. (Rls).

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)