maritimdotid@gmail.com
ASPEKSINDO

Konstruksi Budaya Sebagai Akar Utama Ketidakadilan Gender

$rows[judul] Foto: Penulis

Opini - Diskursus mengenai perempuan seolah tiada habisnya untuk dibicarakan.

Perempuan dalam beberapa hal masih menjadi objek yang sangat sering dibicarakan di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat pedalaman yang masih melekat nilai budayanya. Peran gender dalam masyarakat demikian pun sebenarnya masih sangat minim untuk ditemui.

Hal inilah yang membawa panggung peran seorang perempuan terpinggirkan dan menjadikan perempuan sebagai kelas sosial kedua di masyarakat.

Dalam konteks isu-isu gender, praktik sosial, peran dan relasi gender tidak selamanya disadari oleh masyarakat pada umumnya.

Hal ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa perempuan memiliki citra yang lebih rendah dari pada laki-laki sehingga kepentingan seorang perempuan selalu di kebelakangkan.

Secara historis gender bermula di abad 17 tepatnya di Inggris, setelah revolusi industri. Dimana pada saat manusia menjadi mesin produksi dan terjadi banyak diskriminasi berbasis seksual dalam bidang industri.

Kata gender menjadi kesepakatan untuk menjadi pembeda antara perempuan dan laki-laki. Artinya gender menjadi pembeda dari segi nilai dan praktek sosial antara laki-laki dan perempuan. (Ardhi Raditya, 2014, 245).

Studi tentang gender memiliki akar pada antropologi feminis yang bertumpu pada perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang berbasis nilai dan tingkah laku. (Abdul Jalil dan St. Aminah, 2018,282). Artinya, konsep gender berakarkan pada segi sifat, nilai, tingkah laku, dan juga peran individu dalam kehidupan, bukan pada aspek seks atau kelamin.Tetapi kemudian, gender ini sering dianggap menjadi hal yang kurang dipertimbangkan dalam menilai kehidupan sosial, khususnya kehidupan seorang perempuan.

Hal demikian pun membuat perempuan menjadi korban dari ketidakadilan gender dalam konstruksi sosial. Ini karena masyarakat menganggap bahwa perempuan adalah makhluk inferior dan laki-laki adalah makhluk superior.

Dari hal tersebutlah muncul banyaknya ketidakadilan gender yang didapatkan oleh kaum perempuan seperti marginalisasi, subordinasi, diskriminasi, stereotip atau pelabelan, kekerasan, serta beban berlebihan.

Ketidakadilan gender merupakan persoalan kolektif, bukan persoalan perorangan. Ketidakadilan gender ini harus diselesaikan secara integratif dengan melibatkan semua unsur dalam masyarakat. Salah satu penyebab terbentuknya ketidakadilan gender dalam kehidupan bermasyarakat yang secara umum kita ketahui ialah budaya atau konstruk sosial.

Sebagai sebuah konstruk budaya dan sosial, gender memang telah memberikan makna terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.

Dengan makna itu, masyarakat membuat pembagian kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan.

Akan tetapi pembagian peran tersebut pada dasarnya tidak berdasarkan asas kesetaraan dan keadilan, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama sebagai manusia.

Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender.

Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban tersebut.

Untuk memahami bagaimana perbedaan gender mengakibatkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada.

Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan: marginalisasi, subordinasi,  pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tidak dipisahkanp, karena saling berkaitan dan berhubungan, serta saling mempengaruhi secara dialektis.

Gender dan Marginalisasi Perempuan

Marginalisasi yaitu proses peminggiran yang dialami kelompok tertentu karena adanya perbedaan jenis kelamin yang dapat mengakibatkan kelompok tersebut mengalami kemiskinan (Afandi, 2019).

Marginalisasi perempuan    kerap kali    dilakukan yang tidak hanya terjadi dalam rumah tangga, namun terjadi ditempat kerja bahkan  dalam  kultur  masyarakat.  Nah,  dalam kultur budaya masyarakat inilah yang sering kali mempermasalahkan gender.

Dalam anggapan masyarakat kita, setinggi apapun gelar akademik yang dimiliki seorang perempuan, akhirnya akan menjadi pelayan bagi suami saja dan pekerjaannya hanyalah di rumah. Anggapan itu merupakan  doktrin  terhadap  perempuan  yang  mempunyai  kemajuan  dan keterbukaan  dalam  berpikir,  agar mereka  hanya berdiam di rumah dan  menjadi seorang  ibu rumah tangga.

Pengetahuan masyarakat masih minim akan gender. Hal ini harus diperbaiki  demi kemajuan  sebuah  bangsa  yang  tidak  mempermasalahkan  lagi perbedaan gender. Secara  fisik,  perempuan adalah makhluk yang lemah, yang lebih lumrah tugas  bagi seorang  perempuan  hanya  mengurusi  anak  dan  melayani  suami.

Studi  yang  dilakukan  terhadap  para  pemuka  agama,  bahwa  perempuan tidak berhak   dipukul  atau  disakiti,  bila  bersalah. Mereka  beralasan,  lebih baik  di nasehati    saja    (Dahlia,   2017, 75).

Ketika seorang   perempuan   dijadikan pelampiasan emosi dengan cara  kekerasan, maka sudah terjadi  pelecehan terhadap    kehormatan    seorang    perempuan.     perempuan  tidak  berhak mendapatkan kekerasan fisik  dan lain-lain, lebih baik mereka dinasehati dengan baik.

Gender dan Subordinasi

Subordinasi bermakna suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain (Wicaksono, dkk 2022:4). Subordinasi terjadi terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu.

Di Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya akan ke dapur juga.

Dalam rumah tangga, masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan ketika harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama.

Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.

Gender dan Stereotip

Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Salah satu jenis stereotip itu bersumber dari pandangan gender.

Misalnya, penandaan bahwa perempuan bersolek merupakan upaya memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotip ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korban.

Gender dan Kekerasan

Terkait dengan gender dan kekerasan seringkali terjadi pada kaum perempuan.

Dimana gender feminim seringkali dianggap lemah sehingga sangat rentang mengalami dan mendapatkan perilaku kekerasan di masyarakat khususnya dari kaum  laki-laki yang merasa lebih superior.

Gender dan Beban Kerja

Pembahasan mengenai gender dan beban kerja dalam hal ini kerja-kerja domestik, perempuanlah lagi-lagi yang menjadi objek beban kerja secara berlebihan.

Perempuan telah menanggung beban kerja domestik, mengurus rumah tangga, mengurus anak, hingga suami, tanpa mengesampingkan kerja-kerja karirnya.

Artinya, dalam tatanan masyarakat meskipun  telah mengizinkan perempuan untuk membangun karir dalam hal ini bekerja, perempuan masih harus terus menjalankan kerja-kerja domestiknya.

Lalu mengapa hal ini tidak berlaku untuk laki-laki? Jika laki-laki bekerja di ranah publik sama halnya dengan perempuan,  mengapa laki-laki tidak dibebankan juga pekerjaan domestik, sama halnya dengan perempuan? Bukankah disini ketimpangan telah terjadi dan ketidakadilan telah menimpa kaum perempuan?

Itulah beberapa bentuk ketidakadilan gender dalam masyarakat umum yang sampai saat ini masih terus dirasakan, terlebih pada kaum perempuan yang menjadi objek utama dari ketimpangan gender ini. Semoga kedepannya keadilan gender dapat tercapai secara maksimal.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)