Opini - Diskursus
mengenai perempuan seolah tiada habisnya untuk dibicarakan.
Perempuan dalam beberapa hal masih menjadi objek yang sangat sering dibicarakan di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat pedalaman yang masih melekat nilai budayanya. Peran gender dalam masyarakat demikian pun sebenarnya masih sangat minim untuk ditemui.
Hal inilah yang membawa panggung peran seorang perempuan terpinggirkan
dan menjadikan perempuan sebagai kelas sosial kedua di masyarakat.
Dalam konteks isu-isu gender, praktik sosial, peran dan relasi gender tidak selamanya disadari oleh masyarakat pada umumnya.
Hal ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa perempuan memiliki citra yang lebih rendah dari pada laki-laki sehingga kepentingan seorang perempuan selalu di kebelakangkan.
Secara historis
gender bermula di abad 17 tepatnya di Inggris, setelah revolusi industri.
Dimana pada saat manusia menjadi mesin produksi dan terjadi banyak diskriminasi
berbasis seksual dalam bidang industri.
Kata gender menjadi kesepakatan untuk menjadi pembeda antara perempuan dan laki-laki. Artinya gender menjadi pembeda dari segi nilai dan praktek sosial antara laki-laki dan perempuan. (Ardhi Raditya, 2014, 245).
Studi tentang gender memiliki akar pada antropologi feminis yang bertumpu pada perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang berbasis nilai dan tingkah laku. (Abdul Jalil dan St. Aminah, 2018,282). Artinya, konsep gender berakarkan pada segi sifat, nilai, tingkah laku, dan juga peran individu dalam kehidupan, bukan pada aspek seks atau kelamin.Tetapi kemudian, gender ini sering dianggap menjadi hal yang kurang dipertimbangkan dalam menilai kehidupan sosial, khususnya kehidupan seorang perempuan.
Hal demikian pun membuat perempuan menjadi korban dari ketidakadilan gender dalam konstruksi sosial. Ini karena masyarakat menganggap bahwa perempuan adalah makhluk inferior dan laki-laki adalah makhluk superior.
Dari
hal tersebutlah muncul banyaknya ketidakadilan gender yang didapatkan oleh kaum
perempuan seperti marginalisasi, subordinasi, diskriminasi, stereotip atau
pelabelan, kekerasan, serta beban berlebihan.
Ketidakadilan
gender merupakan persoalan kolektif, bukan persoalan perorangan. Ketidakadilan
gender ini harus diselesaikan secara integratif dengan melibatkan semua unsur
dalam masyarakat. Salah satu penyebab terbentuknya ketidakadilan gender dalam
kehidupan bermasyarakat yang secara umum kita ketahui ialah budaya atau
konstruk sosial.
Sebagai sebuah konstruk budaya dan sosial, gender memang telah memberikan makna terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Dengan makna itu, masyarakat membuat pembagian kerja atau peran antara laki-laki dan perempuan.
Akan tetapi pembagian peran tersebut pada dasarnya tidak berdasarkan asas kesetaraan dan keadilan, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama sebagai manusia.
Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender.
Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender
telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama
terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana
baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban tersebut.
Untuk memahami bagaimana perbedaan gender mengakibatkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada.
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan: marginalisasi, subordinasi, pembentukan stereotip atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Manifestasi ketidakadilan gender tidak dipisahkanp, karena saling berkaitan dan berhubungan, serta saling mempengaruhi secara dialektis.
Gender
dan Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi yaitu proses peminggiran yang dialami kelompok tertentu karena adanya perbedaan jenis kelamin yang dapat mengakibatkan kelompok tersebut mengalami kemiskinan (Afandi, 2019).
Marginalisasi perempuan kerap kali dilakukan yang tidak hanya terjadi dalam rumah tangga, namun terjadi ditempat kerja bahkan dalam kultur masyarakat. Nah, dalam kultur budaya masyarakat inilah yang sering kali mempermasalahkan gender.
Dalam anggapan masyarakat kita, setinggi apapun gelar akademik yang
dimiliki seorang perempuan, akhirnya akan menjadi pelayan bagi suami saja dan
pekerjaannya hanyalah di rumah. Anggapan itu merupakan doktrin
terhadap perempuan yang
mempunyai kemajuan dan keterbukaan dalam
berpikir, agar mereka hanya berdiam di rumah dan menjadi seorang ibu rumah tangga.
Pengetahuan masyarakat masih minim akan gender. Hal ini harus diperbaiki demi kemajuan sebuah bangsa yang tidak mempermasalahkan lagi perbedaan gender. Secara fisik, perempuan adalah makhluk yang lemah, yang lebih lumrah tugas bagi seorang perempuan hanya mengurusi anak dan melayani suami.
Studi yang dilakukan terhadap para pemuka agama, bahwa perempuan tidak berhak dipukul atau disakiti, bila bersalah. Mereka beralasan, lebih baik di nasehati saja (Dahlia, 2017, 75).
Ketika seorang perempuan dijadikan pelampiasan emosi dengan cara kekerasan, maka sudah terjadi pelecehan terhadap kehormatan seorang perempuan. perempuan tidak berhak mendapatkan kekerasan fisik dan lain-lain, lebih baik mereka dinasehati dengan baik.
Gender
dan Subordinasi
Subordinasi bermakna suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain (Wicaksono, dkk 2022:4). Subordinasi terjadi terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu.
Di Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya akan ke dapur juga.
Dalam rumah tangga, masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan ketika harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama.
Praktik seperti itu
sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.
Gender
dan Stereotip
Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Salah satu jenis stereotip itu bersumber dari pandangan gender.
Misalnya, penandaan bahwa perempuan bersolek merupakan upaya memancing
perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan
seksual selalu dikaitkan dengan stereotip ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang
dialami oleh perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korban.
Gender
dan Kekerasan
Terkait dengan gender dan kekerasan seringkali terjadi pada kaum perempuan.
Dimana
gender feminim seringkali dianggap lemah sehingga sangat rentang mengalami dan
mendapatkan perilaku kekerasan di masyarakat khususnya dari kaum laki-laki yang merasa lebih superior.
Gender
dan Beban Kerja
Pembahasan mengenai gender dan beban kerja dalam hal ini kerja-kerja domestik, perempuanlah lagi-lagi yang menjadi objek beban kerja secara berlebihan.
Perempuan telah menanggung beban kerja domestik, mengurus rumah tangga, mengurus anak, hingga suami, tanpa mengesampingkan kerja-kerja karirnya.
Artinya, dalam tatanan masyarakat meskipun telah mengizinkan perempuan untuk membangun karir dalam hal ini bekerja, perempuan masih harus terus menjalankan kerja-kerja domestiknya.
Lalu mengapa
hal ini tidak berlaku untuk laki-laki? Jika laki-laki bekerja di ranah publik
sama halnya dengan perempuan, mengapa laki-laki
tidak dibebankan juga pekerjaan domestik, sama halnya dengan perempuan?
Bukankah disini ketimpangan telah terjadi dan ketidakadilan telah menimpa kaum
perempuan?
Itulah beberapa bentuk ketidakadilan gender dalam masyarakat umum yang sampai saat ini masih terus dirasakan, terlebih pada kaum perempuan yang menjadi objek utama dari ketimpangan gender ini. Semoga kedepannya keadilan gender dapat tercapai secara maksimal.
Tulis Komentar