maritimdotid@gmail.com
ASPEKSINDO

Gimmick Politik dan Fenomena Pemilih Kurang Informasi

$rows[judul] Foto: M. Abil Arqam/Penulis

*Oleh M. Abil Arqam

Maritimnews, Opini - Sebentar lagi kita menghadapi Pemilu setiap 5 tahun sekali yang biasanya disebut pesta demokrasi.

Tentunya kita sudah tahu yang namanya pesta perlu persiapan untuk bisa berjalan dengan lancar dan meriah seperti yang diharapkan. Orang-orang yang ikut berpesta pun juga perlu mempersiapkan diri untuk ikut memeriahkan pesta.

Begitu juga dengan pesta demokrasi ini, yang sudah dipersiapkan mulai dari pendaftaran calon, masa kampanye, debat politik dan sampai pada hari puncak pesta demokrasi pemilu tanggal 14 Februari nanti. Lalu bagaimana dengan kita yang akan ikut berpesta demokrasi, sudahkah kita mempersiapkan diri? 

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas esensi dari pemilu yang katanya adalah pesta demokrasi, melainkan berfokus pada kesiapan kita para pemilih yang akan menghadapi pemilu nanti. Sudah yakin kah kita pada pilihan saat ini? Sudah cukup kah kiranya informasi yang kita miliki untuk bisa menentukan pilihan?

Debat Politik dan Low-Information Voters (Pemilih Kurang Informasi)

Seluruh rangkaian debat capres-cawapres telah selesai, sebentar lagi kita menuju hari puncak pemilu.

Pertanyaan seputar siapa calon yang menjadi pilihan dan kita jagokan kian banyak kita dapati, entah itu di konten-konten media sosial, percakapan di grup-grup whatsapp, atau dalam percakapan sehari-hari kita yang tak jarang berujung debat yang melelahkan.

Yah walaupun menurut saya, situasi menjelang pemilu saat ini tidak sepanas atau segaduh pemilu sebelumnya pada tahun 2019, akan tetapi masih seringkali menimbulkan perdebatan alot yang melelahkan antar pendukung masing-masing calon.

Terlepas dari hal tersebut di atas, sebenarnya bukan menjadi masalah bila terjadi perdebatan antar pendukung. Hanya saja yang perlu kita perhatikan adalah apakah pemilih yang mendukung atau pun yang belum menentukan dukungan ini sudah memiliki cukup informasi dalam menentukan sikapnya untuk memilih pada pemilu nanti?

Bagi sebagian orang, salah satu cara mendapatkan informasi untuk menentukan ataupun menguatkan pilihannya adalah melalui debat politik. Yang katanya sih debat politik mengangkat beberapa tema yang dianggap cukup untuk menilai sejauh mana pemahaman dan wawasan para calon, serta bagaimana komitmennya pada beberapa hal yang menjadi pembahasan dalam debat. Itu kalau dalam debat yang disuguhkan adalah argumen-argumen yang substansial, berdebat mengenai program antar masing-masing calon, bukan saling serang personal yang jauh dari pembahasan dan lebih menonjolkan hal yang sensasional belaka. Juga kalau benar-benar menonton debatnya, bukan menunggu konten FYP di Tiktok, Instagram dan media sosial lainnya.

“Debat politik bukanlah sains, tapi seperti pertandingan hoki tanpa wasit yang penontonnya bisa menyerbu ke lapangan”, begitu yang dituliskan Tom Nichols dalam bukunya "Matinya Kepakaran". Kian hari debat politik memang semakin terdengar seperti perkelahian antar kelompok yang kurang informasi. Kegaduhan seperti itu disebut sebagai akibat dari (low-information voters) atau pemilih kurang informasi.

Pemilu seperti apa yang kita harapkan dengan pemilih yang kurang informasi?

Beberapa konten di media sosal yang saya lihat menanyakan alasan orang memilih calon yang dijagokan, dan tidak sedikit dari jawaban orang yang ditanya adalah memilih dengan alasan karena perasaannya, karena gimmicknya, karena teman-temannya memilih itu juga. 

Waduh-waduh, jawaban-jawaban itu bagi saya menunjukkan bahwa kita belum siap berpesta. Atau barangkali karena ini pesta, maka tidak harus jawaban yang rasional dan berdasarkan data, berdasarkan program-program calon, yang penting suka-suka saja. Toh inikan pesta.

Parahnya adalah bila jawaban tersebut di atas juga kita temukan di kalangan terdidik di perguruan tinggi, yang seharusnya mereka lah orang-orang yang memilih dengan alasan rasional dan berdasarkan data. Yang seharusnya memberikan edukasi pada masyarakat terkait pentingnya kesadaran politik.

Memilih hanya berdasarkan perasaan, karena gimmicknya, atau karena ikut-ikutan adalah ciri low-information voters, dan kita dipaksa untuk menerima itu semua sebagai kebenaran. KIta dipaksa untuk menghargainya, bahwa itulah pilihan setiap orang terlepas pilihan itu dengan alasan rasional atau tidak. Bisa kita katakan ini pemaksaan bersifat solipsis. Tidak setuju berarti tidak menghormati, mengoreksi berarti menghina. Beginilah demokrasi kita, yang tak jarang terjebak dalam bias kesetaraan dan bias konfirmasi.

Gimmick Politik, Bias Konfirmasi dan Pemilih Ikut-ikutan

Wabah kurang informasi bisa disebabkan karena faktor kemalasan untuk aktif mencari informasi dan terlalu banyak mengonsumsi konten-konten sensasional belaka yang berseliweran di media sosial. Dan hal itu memiliki konsekuensi terhadap kualitas pemilih.

Seperti yang dikatakan Tom Nichols “Internet mengizinkan satu juta bunga mekar, tapi sebagian besar berbau busuk”, itulah hoax, itulah konten yang sifatnya sensasional belaka. Kemalasan kita untuk mencari informasi penting secara aktif menjadikannya lebih parah. 

Daripada pusing mencari data dan membandingkan program antar calon atau informasi penting lainnya, kita lebih memilih menonton konten lucu-lucuan seputar pemilu, gimmick para calon, dan hal lain yang menimbulkan rasa kasihan atau menyentuh emosional kita. Tidak sedikit dari kita yang seperti demikian.

Gimmick menurut KBBI adalah sesuatu berupa alat atau trik yang berguna untuk menarik perhatian dengan mengelabui lawan. Gimmick politik sendiri adalah sebuah strategi menarik perhatian yang tanpa memberikan sesuatu yang substansial. Suatu cara yang dignakan oleh politisi untuk membuat banyak orang mengingat mereka dengan sesuatu yang mencolok.

Bisa dikatakan gimmick menjadi trik yang cukup jitu untuk menarik perhatian masyarakat yang digunakan oleh para politisi yang berkontestasi dalam pemilu. Dan sudah barang tentu, dengan transformasi digital saat ini, gimmick dalam berpolitik menjadi lebih massif. Terlalu banyak gimmick politik oleh para politisi berdampak pada miskinnya informasi substansial yang diberikan pada masyarakat.

Padahal, banyak sedikitnya informasi yang kita miliki menentukan kualitas kita dalam memilih. Tentu saja mereka yang hanya mengutamakan perasaannya dalam memilih akan cenderung terjebak dalam bias konfirmasi (hanya menerima informasi yang mendukung pilihannya dan menolak informasi yang bertentangan). 

Konten-konten sensasional, gimmick para politisi di media sosial, memang sangat gampang menyentuh perasaan dan berdampak pada bias konfirmasi.

Pemilih yang terjebak bias konfirmasi menjadi enggan mencari dan bahkan menolak informasi yang tidak menguatkan pilihannya. Padahal kita perlu berbagai informasi mengenai para calon yang akan kita pilih, terlepas dari apakah itu meneguhkan pilihan kita atau membuat kita ragu. Tentunya kita juga harus menyaring setiap informasi yang kita dapatkan.

Ada juga pemilih yang hanya ikut-ikutan. Karena lingkungan pertemanannya atau keluarganya atau tempat kerjanya memilih calon tertentu ia juga ikut memilih pilihan yang sama. Kurangnya informasi dan belum sadar akan pentingnya melek politik bisa menjadi sebabnya.

Bisa juga disebabkan karena ingin merasa diterima dalam kelompok atau lingkungannya yang hanya bisa didapatkan dengan mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari kelompok tersebut. 

Yah, semoga saja saya anda dan kita semua memiliki cukup banyak informasi dalam menentukan pilihan.

Penulis merupakan tukang sablon yang suka membaca dan berdiskusi.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)